Oleh admin Senin, 20 Februari 2006 18:20:17
Pria 25 tahun itu memperkirakan seminggu menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-61 RI semua red claw mencapai ukuran konsumsi. Sekilo isi 10-12 ekor dengan bobot rata-rata 80-100 g/ekor. Bila waktu itu tiba, seorang penampung di Bekasi Barat yang jauh-jauh hari menginden, menjamin membeli seluruh hasil panen. Pantas bila alumnus Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana itu sukarela mengurangi jatah tidurnya malam itu. Di kolam berdinding bambu itu ia menebar benih berukuran 5 cm. Padat penebaran cukup tinggi mencapai 50 ekor/m2 dari normal 10 ekor/m2. Itu bisa dilakukan karena Renca meletakkan 16 rooster atau rumah lobster, masing-masing berjarak 30-45 cm. Rooster berukuran 112 cm x 60 cm dibuat dari bambu. Pada setiap rooster diletakkan 72 potong bambu masing-masing sepanjang 30 cm, berdiameter 8-9 cm, dan disusun 6 tingkat. Itulah tempat tinggal Cherax quadricarinatus.
Untuk mengejar ukuran konsumsi, pengusaha ikan di Kabupaten Bogor, itu memberi pakan alami berprotein tinggi seperti cacing tanah dan keong mas. Pakan itu dirajang dan diberikan sebanyak 1,5-2% dari bobot tubuh/hari. Renca menghindari pakan pelet dari tulang berkadar kalsium tinggi. Unsur kimia itu menyebabkan eksoskeleton mengeras hingga udang kesulitan moulting atau berganti kulit. Sebagai gantinya, sumber kalsium diperoleh dari batu zeolit 5 kg/m2 yang ditebar di dasar kolam.
Dengan asumsi tingkat kematian 15-20% hingga ukuran konsumsi, Renca menghitung 7 bulan setelah menebar benih bakal memanen 100 kg red claw. Dengan harga Rp150.000/kg, total pendapatan yang diraup Rp15-juta. Setelah dikurangi biaya-biaya sekitar Rp4-juta, diperoleh laba bersih Rp11- juta. Jumlah yang cukup besar dari kolam berukuran Ă‚½ luas lapangan bulutangkis itu. Pundi-pundi bakal lebih menggelembung karena di saat yang sama Renca menebar benih di 3 kolam lain berukuran luas rata-rata 50 m2.
Sukses
Di kota lain, Surabaya, FX Santoso lebih dahulu menikmati keuntungan hasil pembesaran lobster. Itu setelah ia sukses memasok langsung ke sebuah restoran di hotel berbintang 5 di Surabaya. Bahkan demi menjaga kontinuitas pasokan, mantan kontraktor bangunan itu dan pihak hotel membuat perjanjian di atas kertas bermaterai.
Sejak Agustus 2005, alumnus Teknik Arsitektur Universitas Kristen Petra, Surabaya, itu rutin menyetor 5-10 kg/minggu. Itu dipenuhi dari kolam-kolam berukuran 1,5 m x 2,5 m, masing-masing 10 kolam di Rungkut, Surabaya, dan 32 kolam di Pacet, Mojokerto. Ia mematok harga Rp200.000-Rp225.000/kg isi 10-15 ekor. Terhitung Maret 2006, total volume penjualannya bakal meningkat menjadi 50 kg/minggu. Saat itu, ayah 2 putra itu mengikat janji untuk memasok 5 restoran di Pulau Dewata, Bali. Masing-masing 5-10 kg/minggu/restoran. Dengan harga jual sama, pendapatan minimal Rp40-juta/bulan siap digenggam Santoso.
Menjaring konsumen sampai Bali ditempuh alumnus Magister Manajemen Universitas Budi Utomo, Surabaya, itu setelah September 2005 ia membuka kolam pembesaran baru seluas 2.000 m2 di Malang, Jawa Timur. Berjarak tempuh 45 menit dari lokasi pertama, penggemar travelling itu juga membuka 22 kolam tanah masing-masing seluas 200 m2. Total jenderal 60.000 benih ditebar bertahap agar panen berlangsung kontinu setiap minggu.
Kondisi itu jelas bak bumi dan langit dibandingkan 2 tahun lalu. Siapa yang berani menjamin kalau lobster air tawar booming gampang menjualnya? ujar Anton Saksono, pengusaha ikan hias di Jakarta Timur. Apalagi setelah masa kejayaan lou han menurun, pamor anggota keluarga Crustaceae itu merosot. Harap mafhum saat itu red claw lebih banyak diperjualbelikan sebagai ikan hias. Perannya sederhana, menyantap sisa-sisa pakan lo uhan agar air akuarium tetap jernih.
Kalaupun ada yang menernakkan dengan skala agak besar, perputaran hasilnya bak lingkaran bola. Lobster beredar dari satu peternak ke peternak lain. Itu yang membuat Siswanto di Cibubur, Jakarta Timur, dan Firman-sebut saja demikian-di Bogor, uring-uringan. Karena pasar remang-remang, Siswanto lantas menjual murah sebagian induk red claw miliknya pada 2003. Nasib Firman lebih tragis. Meski Ia sudah menawar-nawarkan kolam lobsternya kepada kolega dekat, tak satu pun berminat.
Restoran terbesar
Penelusuran Trubus selama 6 bulan terakhir menunjukkan, kekhawatiran bisnis lobster air tawar hanya berputar di kalangan peternak saja tidak terbukti. Restoran dan hotel papan atas di Bali, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, kini meliriknya sebagai menu spesial. Terutama untuk acara-acara khusus seperti peluncuran produk tertentu, perayaan Tahun Baru, Natal, dan acara instansi tertentu.
Ambil contoh hotel berbintang 5, Amanusa di Nusadua, Denpasar. Kelompok jaringan bisnis Hotel Aman itu menyerap 10 kg/bulan. Menurut chief executif Amanusa, Marcel Huser, di sana red claw diolah menjadi beragam menu seperti poached freshwater yabbies ketika berlangsung acara New Years's Eve. Atau menu yabbies broth saat acara dinner with friends at Amandari. Harganya? Untuk 1 paket US$120 setara Rp1,1-juta.
Restoran memang menjadi penyerap terbesar. Penampung besar di Roxi, Jakarta Barat, Andrianto menjelaskan kebutuhan restoran-restoran di seputar Jakarta mencapai 2-3 ton/bulan. Angka kasar itu dihimpun alumnus F-MIPA Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, dari informasi sesama penampung. Permintaan ukuran konsumsi banyak, tapi produksi sangat sedikit, ujar pengelola griya produksi iklan itu. Berdasarkan lacakan Trubus kebutuhan nasional mencapai 6-8 ton/bulan.
Bali boleh jadi contoh yang sudah berjalan. Menurut Dean Reardon, penampung setempat, permintaan Pulau Seribu Pura itu mencapai 200 kg/ minggu. Ratusan turis mancanegara dan ekspatriat adalah konsumen terbesar, ujarnya. Pengusaha kelahiran negeri Kanguru itu sebelumnya mengambil lobster air tawar seperti C. monticola dan black tiger dari Papua. Belakangan setelah ongkos transportasi melonjak karena kenaikan harga BBM, suami Chilien itu beralih mengambil ternakan asal Jawa.
Laba pembenihan Gurihnya bisnis lobster tidak hanya dirasakan peternak pembesar. Peternak pendeder yang memproduksi benih ukuran 5 cm turut kejatuhan rezeki. Justru di situlah terbuka peluang mendapatkan laba relatif singkat. Apalagi kini harga indukan sudah turun. Kalau dulu per set Rp2,5-juta, sekarang rata-rata Rp350.000-Rp750.000/set, tergantung kualitas, ujar Santoso Darmawan, penyedia induk di Surabaya. Ia rata-rata menjual minimal 10 set induk/bulan sejak awal 2005. Satu set induk terdiri atas 5 jantan dan 3 betina.
Pendeder pun tak perlu takut mencari pasar. Mereka bisa memilih cara bermitra atau nonmitra. Keuntungan pendeder bermitra: memiliki jaminan pasar pasti dari penampung. Yang nonmitra, selain dapat menjual eceran, pun bisa menyetor ke penampung dengan harga jual lebih rendah 20-30% daripada bermitra.Toh, semua tetap menuai untung.
Sebut saja Puji Kurniawan di Cibubur, Jakarta Timur. Staf pembelian perusahaan ekspor mebel di Gunungputri, Bogor, itu April 2005 membeli 20 set induk seharga Rp14- juta. Induk-induk itu kemudian dipelihara di 2 kolam bersekat asbes berukuran 2,8 m x 2,8 m. Berselang sebulan, 13 betina di antaranya bertelur. Setiap betina menghasilkan 150-160 telur.
Dengan persentase kematian dari burayak hingga berukuran 5 cm rata-rata 20%, Puji memperoleh sekitar 1.500 bibit. Karena bermitra, ia mendapat harga jual Rp1.500/ekor. Hanya 2,5 bulan sejak memelihara induk, ia mengantongi pendapatan Rp2,25-juta. Setelah dikurangi ongkos perawatan Rp50/ ekor/ bulan dan operasional sebesar Rp1- juta, Puji menangguk laba bersih Rp1,1- juta. Pendapatan itu berlipat ganda jika semua betina bertelur.
Berkah iklim tropis yang membuat betina red claw bertelur 4 kali/tahun menarik minat Gregorius Setiawan dan Juanda di Bekasi, serta Doni Handoko di Malang. Gregorius, misalnya, sejak Maret 2005 membangun 24 kolam pendederan berukuran masing-masing 2 m x 2 m. Dari 18 set induk, pengecer sembako itu rutin menyetor 2.000 benih ke penampung. Dengan harga kontrak dari penampung Rp2.000/ekor, dipotong biaya produksi Rp100/ekor per bulan, ia meraup pendapatan Rp3,8-juta/bulan.
Laba menjanjikan itu mendorong Amin Nurrohman, Sigit Purwanto, dan Muhhammad Daldiri di Desa Poncosari, Kabupaten Bantul, Yogyakarta membentuk Kelompok Tani Lobster Mina Mulya. Bermodalkan 3 set induk seharga Rp2-juta sejak Februari 2005 mereka melepas 200 benih/ bulan ukuran dengan harga Rp2.500/ekor. Dari sana kelompok nonmitra itu meraup laba bersih sekitar Rp2.200/ekor. Cukup setahun untuk balik modal dan untung, ujar Amin.
Masih di kota Gudeg, Ir Hendro Sumarhayana pada awal 2005 menangkarkan 25 set induk. Itu setelah peternak pembesar itu kesulitan mencari 8.000 benih untuk dibesarkan. Dalam 3 bulan, selain dapat memenuhi kebutuhan sendiri, pemilik rumah makan Pondok Laguna itu bisa menjual bibit. Dari penjualan rutin 2.000 benih/bulan, tambahan pendapatan Rp5- juta/bulan pun masuk koceknya.
Risiko kematian Meski demikian bisnis lobster bukan bersih dari kendala. Seperti ikan konsumsi lain, kualitas air tetap menjadi kunci kesuksesan budidaya. Idealnya pH air 6,5-7 dengan suhu dipertahankan 24-26oC. Ketersediaan oksigen terlarut mutlak tinggi sekitar 4 ppm. Kekurangan oksigen terlarut menghambat pertumbuhan udang. Panen ukuran konsumsi yang semestinya 7 bulan bisa molor hingga 8-9 bulan.
Sirkulasi air yang tidak berjalan normal nyaris membuat jera Ronald Henendra di Yogyakarta. Tumpukan sisa pakan yang semestinya rutin disipon atau disedot keluar, menyumbat saluran filter. Karena kejadian itu pemilik Charis Farm itu merugi minimal Rp1-juta. Itu lantaran 400 benih berukuran 5 cm mati keracunan amonia. Untung tidak menimpa semua kolam, ujar Ronald.
Waktu pemberian pakan tidak terjadwal bisa berakibat fatal. Puji Kurniawan merugi Rp2,5-juta saat Idul Fitri tahun lalu. Selama 2 hari pulang kampung, perawatan lobsternya diserahkan kepada orang lain. Jadwal pemberian pakan menjadi asal-asalan. Sebagian benih berukuran 5 cm saling memangsa. Demikian pula dengan beberapa induk. Pemberian pakan tepat deh supaya ngga terjadi kanibalisme, ujar pemilik Misri Farm itu.
Serangan penyakit juga kini menjadi batu sandungan lain bagi petenak. Nilai kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Setiadi di Purwokerto, Banyumas, mengurut dada begitu cendawan saprolegnia dan achla menyerang lobsternya pada April 2005. Karena serangan penyakit itu separuh dari 500 induk ludes. Pengusaha ikan hias itu merugi Rp12,5-juta. (Baca: Awas Gulung Tikar, hal 16-17).
Menurut pendeder di Bekasi Selatan, Agung Lukito, inbreeding yang kini terjadi dapat berubah laksana bom waktu di masa depan. Saat ini betina berukuran 10 cm menghasilkan 150-300 telur. Tapi ada betina berukuran lebih besar, telurnya sedikit dan jelek lagi kualitasnya. Mungkin itu karena inbreeding, ujar alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komputer di Jakarta Selatan itu yang kini getol berburu induk-induk unggul.
Terbuka lebar Namun jika ganjalan-ganjalan itu teratasi, pintu sukses terbuka lebar. Ingin mengekor mereka yang sudah sukses, kini jumlah pemain lobster berlipat ganda. Penyebaran tidak hanya di Jawa, tapi melebar hingga ke Sulawesi dan Kalimantan. Data Asosiasi Pembudidaya Lobster Air Tawar Indonesia (APLATI) menunjukkan, terdapat peningkatan pesat jumlah peternak di Yogyakarta. Jika pada 2003 baru 16 orang yang bergabung, kini meroket menjadi 50 orang.
Lobster konsumsi sudah menjadi salah satu unggulan perikanan di sini, ujar Ir Koenan Maryono, MM, kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Bogor, para peternak berhimpun membentuk Koperasi Peternak Lobster Air Tawar Indonesia (KOPELATI) pada pertengahan Januari 2006. Siapa pun bisa bergabung. Kami akan memfasilitasi segala kebutuhan mulai dari bibit hingga pemasaran, ujar Yanto, ketua koperasi. Respon itu menjadi indikator lebarnya ceruk pasar lobster.
Buktinya, meski pendeder tumbuh bak cendawan di musim hujan, kebutuhan benih hingga kini sulit terpenuhi. Contoh Sugiono, pemilik TC Yabby Farm di Kalimalang, Jakarta Timur. Ayah I putri itu lintangpukang mencari 50.000 benih/bulan untuk melayani kebutuhan seorang eksportir di Jakarta. Padahal, Sugiono terikat kontrak hingga 2010 dengan volume permintaan semakin meningkat.
Menurut pemilik Multi Inovasi Mandiri, Hariyanto, permintaan ekspor benih lobster dari mancanegara membeludak lantaran untuk dibesarkan hingga ukuran konsumsi. Contoh Malaysia dan Singapura. Mereka menolak menerima ukuran konsumsi seperti digembar-gemborkan. Tapi untuk benih permintaan sampai sejuta ekor per bulan, ujar eksportir di Mojokerto, Jawa Timur, itu. Pensiunan Departemen Pekerjaan Umum itu setahun terakhir baru sanggup mengirim sekitar 60.000 benih meski sudah bermitra dengan 1.216 plasma.
Serapan lokal tak kalah besar. Riswan Rismawan, penampung yang mulai melirik usaha pembesaran membutuhkan 60.000 benih/bulan. Kebutuhan itu sulit dipenuhi meski sudah menggandeng 400 peternak. Kejadian serupa dialami Cuncun di Jakarta dan Frisca Prasetyo Wibowo di Malang. Kami sampai perlu terus-menerus mengadakan pelatihan lobster untuk menjaring plasma baru, ujar Cuncun, pemilik Bintaro Fish Center itu.
Permintaan lobster konsumsi masih jauh dari terpenuhi. Permintaan sebesar 300-400 kg/bulan dari restoran-restoran di Jakarta yang diterima Andrianto, baru sebatas permintaan. Sekarang untuk mendapat 50kg/minggu saja sulitnya bukan main, ujarnya. Kebutuhan itu menurut perkiraan Andre-sapaan akrabnya-baru terlayani dalam jangka waktu 2-3 tahun ke depan.
Dengan demikian boleh jadi banyak yang mengendus peluang bisnis lobster yang kini pasarnya menganga lebar. Maklum pasokan lobster-lobster bibit maupun konsumsi-mini, sedangkan permintaan amat maksi. Laba beternak lobster kini memang menanti, tentu setelah Anda melewati pedihnya dicapit red claw. Tertarik menerima tantangan itu? (Dian Adijaya S/Peliput: Destika C, Hanni Sofia, dan Rahmansyah Dermawan).