Rabu, 15 Agustus 2007

Awas Gulung Tikar!

Oleh admin Senin, 20 Februari 2006 18:18:55

Andaikan seluruh induk hidup, pemilik Bintang Terang Aquarium itu bisa mencicipi keuntungan sebesar Rp75.000.000/4 bulan. Sebanyak 500 induk, 312 di antaranya betina yang akan menghasilkan telur rata-rata 150-200 butir. Dalam 1,5-2 bulan kemudian bakal dihasilkan burayak berukuran 5 cm yang bisa dijual seharga Rp2.500/ekor dengan SR 5-10%. Namun, keuntungan seperti itu kian menjauh dari impian.

Biang keladi kematian Cherax quadricarinatus itu adalah serangan Saprolegnia sp, anchorworm, argulus, dan penyakit lilin meleleh. Keempatnya sering menyerang ikan air tawar. Belakangan mereka turut menggempur lobster air tawar. Anggota keluarga Cambaridae yang terinfeksi akan menurun napsu makannya, lalu mati.

Setiadi menduga penyakit itu datang karena ia rutin memberi pakan ikan mati. Bisa jadi pakan itu telah terinfeksi penyakit, ujar pria kelahiran Purwokerto itu. Lahan seluas 1.500 m2 berisi puluhan bak dan 3 kolam yang kini dihuni lobster itu semula dipakai beternak gurami dan beragam jenis ikan hias lain.

Bencana semacam itu tidak pernah terpikir bisa menimpa lobster. Ia mempunyai kulit yang keras dan tebal, jadi parasit sulit menembusnya, ungkap Amin Nurohman, peternak di Yogyakarta. Hal itu diamini Agung Nugroho, peternak lobster di Klaten, Jawa Tengah. Menurutnya lobster tergolong hewan yang pintar beradaptasi, kekebalan tubuhnya dipastikan baik. Namun, pada Oktober 2005 bangkai-bangkai lobster berceceran di kolam Setiadi. Sebuah bukti, lobster bisa digempur penyakit.

Gagal moulting

Kendala beternak juga dialami Ronald Henendra Oscar dari Charis Farm Yogyakarta. Beberapa lobster di bak pria kelahiran 25 tahun silam itu kerap mengalami gagal moulting alias ganti kulit. Lobster tak bisa melepas kulit awalnya yang terlalu keras, ujar Ronald. Akibatnya lobster mati seketika saat moulting. Meski tak mencapai ratusan, Ronald harus merelakan sekitar 10 indukan senilai Rp500.000 mati pada akhir September 2005.

Menurut Setiadi lobster yang memaksakan diri ganti kulit, insangnya akan terlepas, sehingga tewas. Gara-gara itu Setiadi sejak Oktober 2005 mesti berlapang dada kehilangan lebih dari 50 indukan berukuran 10-15 cm. Penyebab gagal moulting diduga berasal dari pelet. Tepung tulang pada pelet menyebabkan asupan kalsium dalam tubuh meningkat, ujar Johan Efendi ketua APLATI (Asosiasi Pembudidaya Lobster Air Tawar Indonesia). Dampaknya kulit menjadi keras dan proses ganti kulit terhambat.

Bagi Ivan di Bogor, Jawa Barat, untuk mempercepat proses moulting kadar oksigen terlarut dalam air perlu ditingkatkan terutama sebelum dan sesudah ganti kulit. Saat moulting, lobster butuh pasokan oksigen lebih, ujar kelahiran Jakarta itu.

Favoritkan biru

Pemasaran red claw juga tak lepas dari ganjalan. Johan Efendi di Yogyakarta pada awal 2004 sempat mengeluh lantaran konsumen di Yogyakarta menuntut red claw berwarna biru. Padahal bila diternak di kolam terbuka yang menerima cahaya matahari lebih banyak, lobster cenderung berwarna gelap, ujar pria berkulit putih itu.

Warna biru bakal dihasilkan bila lobster diternak dalam akuarium yang tidak mendapat sinar matahari penuh. Sayangnya pemeliharaan dalam akuarium lebih lambat dibandingkan di kolam.

Tuntutan konsumen pada lobster biru sempat membuat Johan kalang kabut. Pasalnya, alumnus Universitas Katholik Atmajaya, Yogyakarta, itu membudidayakan sejumlah lobster air tawar di kolam. Johan terpaksa membesarkan lobster hingga ukuran induk karena pasar untuk benih sempat terganjal. Namun, seiring berjalannya waktu, Warna biru pun bukan lagi permintaan mutlak, ungkap Johan. Sebaliknya tubuh bongsor dan sehat menjadi standar mutu utama.

Derita merugi juga dialami Irwan Suyanto di Purwokerto, Banyumas. Tingginya kanibalisme memaksa pemilik toko kelontong besar di Purwokerto itu merelakan sekitar 400 benih yang ditebar di kolam. Dari tebar 1.100 ekor pada Oktober 2005, tak sampai sebulan tinggal 700 lobster. Uang sejumlah Rp1.000.000 plus ongkos pakan pun lenyap tak berbekas.

Tak hanya itu, budidaya lobster air tawar juga diincar risiko genetik. Langkanya bibit unggul mengintai prospek bisnis freshwater crayfish. Menurut Irwan Suyanto, peternak di Purwokerto, Banyumas, makin sering terjadi perkawinan saudara alias inbreeding menyebabkan lobster ringkih, gampang diserang penyakit, lambat berkembang, dan kuntet. Perlu ada bibit unggul lobster baru yang bukan berasal dari perkawinan saudara, ujar Irwan. (Hanni Sofia)

Tidak ada komentar: