Rabu, 15 Agustus 2007

Murah dan Cepat ala Australia

Oleh trubus
Kamis, 15 Februari 2007 16:26:22



Enak benar peternak lobster di Australia. Untuk menghasilkan bibit lobster ukuran 5 cm mereka cuma butuh waktu 4 bulan sejak pemijahan. Kawin, gendong telur, dan pembesaran burayak terjadi di satu kolam. Di sini waktu yang diperlukan 5 bulan. Selama itu terjadi 2 kali pemindahan induk dari kolam satu kekolam lain.

Gara-gara lobster dalam satu kolam, peternak Negeri Kanguru itu hanya memperoleh 25.000 hektar ukuran 5 cm. Namun, 4 bulan kemudian, seluruhnya berubah wujud menjadi indukan dan lobster konsumsi berbobot 70-110 g/ekor. Tidak ada satu pun yang tewas.

Angka 25.000 ekor itu jauh di bawah produksi Agung Lukito, peternak di Jakarta Timur. Lewat teknik pindah kolam, dari hitung-hitungan di atas kertas ia bisa mendapatkan 125.000 lobster ukuran 5 cm. Namun yang jadi besar hanya 40%, ungkap Agung. Sisanya mati karena kanibalisme dan gagal moulting. Waktu yang dibutuhkan sama saja, hanya 4 bulan. Gaya beternak ala Agung itu menghasilkan lobster konsumsi berbobot 50-60 g/ekor.

Seleksi bibit

Adalah Clive Jones-penemu strain walkamin-yang menebarkan 250 betina dan 100 jantan di satu kolam tanah berukuran 50 m x 20 m itu. Empat bulan setelah kawin massal, kolam dikuras untuk memisahkan jantan dan betina sekaligus seleksi bibit. Yang diambil hanya 100 lobster dengan pertumbuhan bongsor diprediksi mampu mencapai ukuran induk dan konsumsi. Sisanya, 20%, lobster kuntet yang tidak dipakai lagi.

Menurut FX Santoso, pakar lobster di Surabaya, perkawinan dan pembesaran dalam 1 kolam sah dilakukan, minimal di luasan kolam 1.000 m2. Ia menuturkan sistem Australia itu telah lama diadopsi peternak di Lamongan. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Kualitas air dan cara budidaya kurang diperhatikan, sehingga ukuran lobster tidak seragam dan tingkat kematian tinggi, ujar pemilik Santoso Farm itu.

Ir Cuncun Setiawan di Bintaro, Tangerang, mengungkapkan pemeriksaan air wajib dilakukan setiap hari. Biasanya pH 7, suhu 24-30oC, dan sechi disk maksimal 30-70 cm, ujarnya. Pemilik Bintaro Fish Farm itu menghitung, sistem Australia mampu menekan ongkos produksi. Total biaya untuk lahan seluas 1.000 m2 Rp2-juta/panen. Lebih murah ketimbang pengeluaran Agung, Rp40.000/kg dan, untuk mencetak ukuran konsumsi Rp200/ekor serta bibit.

Kolam cekung

Supaya produksi maksimal, kolam di Australia bebas dari predator, seperti burung dan ular. Caranya memberi peneduh waring dan membentengi kolam dengan kawat ram setinggi 2 m. Lebar kolam yang hanya 20 m itu membuat pemberian pakan mudah dan tersebar merata. Di ujung kiri kolam dipasang pipa berdiameter 5 cm untuk pembuangan air.

Agar lobster nyaman, kolam diberi 250 waring yang disusun vertikal di 40 titik berjarak 2 m. Kumpulan potongan pipa PVC sepanjang 15 cm sekitar 100 buah pun diletakkan menyebar. Keduanya berfungsi sebagai tempat bermain dan bersembunyi saat moulting. Adanya tempat bersembunyi itu menekan kanibalisme hingga 20%.

Perbedaan lain terlihat dari bentuk kolam. Kolam didesain oval dengan cekungan di dasar. Cekungan yang tidak tajam itu membuat water lift-pipa gelembung udara-yang diletakkan di tengah kolam bergerak leluasa. Water lift mendorong dan menciptakan arus dari bawah menyembur ke atas. Gerakan itu disokong tekanan udara, sehingga air terisap ke atas menimbulkan gelembung-gelembung yang mengalir tenang. Alat itu dihidupkan selama 12 jam mulai pukul 18.00 lantaran malam hari kadar oksigen di kolam turun. Cekungan juga mempermudah panen karena lobster akan berkumpul di sana.

Berbeda dengan peternak lokal. Kolam umumnya berbentuk huruf U dengan dasar datar. Rancangan itu memudahkan peletakan rooster dan tidak banyak menimbulkan masalah. Problem muncul saat panen. Hanya losbter di rooster yang mudah dipanen dengan cara mengangkat rooster. Sisanya tetap perlu diambil dengan jaring karena posisinya menyebar.

Flow trape

Perbedaan mencolok terlihat saat proses panen dan seleksi. Saat panen, baik cara lokal dan Australia, air dikuras total. Namun, di Australia pemanenan memakai sistem flow trape. Caranya taruh bak berukuran 1 m x 50 cm bersekat 6 untuk menjebak lobster. Supaya lobster tertarik masuk, aliran air dari pipa atas dibuat searah bak. Air akan mengalir melewati papan seng yang diletakkan miring.

Saat kolam mengering, lobster mengejar air dengan memanjat papan seng, lalu jatuh dalam bak. Agar lobster tidak stres, kolam bak diberi arus kecil. Untuk membersihkan lobster dari lumpur dan kotoran, air dibubuhi garam.

Flow trape dipasang malam hari. Pagi harinya akan terjaring 95% lobster. Sisanya diambil manual. Waktu itu lebih singkat daripada sistem yang diterapkan di tanahair. Kolam dikeringkan dulu baru dipanen sekaligus diseleksi. Proses itu memakan waktu seharian, kata Cuncun. Selain itu, saat panen butuh banyak tenaga kerja untuk menguras kolam dan menyortir. Sebagai gambaran, panen di kolam seluas 1.000 m2 menyerap 6 tenaga kerja.

Proses sortir di Australia tidak manual, tapi memakai grader berukuran 1 m x 2 m x 60 cm. Dalam grader terdapat bar besi. Lebar bar disesuaikan ukuran lobster. Semakin ke bawah jarak bar semakin sempit. Lobster di bar atas berbobot paling besar, 70-90 g/ekor untuk konsumsi; tengah 50-60 g/ekor; dan di bawah untuk lobster kuntet. Lobster-lobster konsumsi ditaruh dalam cool storage bersuhu 15-17oC selama 48 jam. Setelah itu lobster siap dikirim dan tahan 20 jam perjalanan.

Di sini, sortir dilakukan manual. Saat panen lobster langsung diseleksi. Padahal saat itu kadar oksigen terlarut di kolam menipis. Akibatnya lobster sering tampak lemas setelah disortir. Risiko kematian pun akan tinggi saat pengiriman. Sampai di tangan konsumen masih bisa prima, tapi beberapa hari kemudian ada yang mati, kata Cuncun.

Beternak lobster di Indonesia dan Australia itu berbeda. Di sini, sifat kanibalisme lobster ditekan sekuat mungkin. Di Australia risiko lahap-melahap antarlobster diabaikan. Itulah enaknya beternak lobster di negeri tetangga itu. (Lastioro Anmi Tambunan)

Tidak ada komentar: