Rabu, 15 Agustus 2007

Agar Lobster Papua Naik Pelaminan

Oleh admin Senin, 20 Februari 2006 18:10:44

Peristiwa naas itu terjadi setahun silam.Dengan berat hati, Doni-demikian ia dipanggil-mengangkat satu per satu lobster berukuran 7-10 cm itu dari akuarium berukuran 1 m x 0,5 m x 0,6 m. Modal yang dicemplungkan untuk memboyong 3 set lobster senilai Rp750-ribu/set pun hilang tanpa bekas. Jangankan menghasilkan telur, mengawinkannya aja sangat sulit. Jadi, kita tidak bisa produksi, kata alumnus Universitas Surabaya itu kesal.

Menurut suami Novy Kusumawardhani itu ia sudah merawat lobster papua dengan telaten. Pakan diberikan 2 kali sehari. Pergantian air rutin dilakukan seminggu sekali. Tak habis pikir, kok bisa mati. Padahal perawatan sama dengan redclaw, ucap Doni. Usaha lain menyilangkan dengan redclaw juga sia-sia belaka.

Susah makan

Kesulitan juga dialami pemain lama yang mencoba menangkarkan lobster papua. Sri Hardono misalnya, setahun silam 30 lobster black tiger meregang nyawa di farmnya di bilangan Lentengagung, Jakarta Selatan. Mereka mati satu per satu. Sekarang tinggal 10 ekor, ujarnya.

Seperti Doni, Hardono pun sudah telaten merawat lobster berkulit belang mirip harimau itu. Kondisi air seperti pH, 7-8; suhu dan pergantian air rutin dicek. Pakan pelet sebanyak 2-3% dari bobot tubuh/ekor diberikan sehari sekali pada sore hari. Obat penumbuh lumut juga ditebar agar kondisi kolam sesuai dengan habitat aslinya.

Namun, pengorbanan ayah Dewi May Cahyanti itu sia-sia. Lobster peliharaan mati satu per satu. Ia malas makan, gerakannya pun lamban. Pertumbuhan juga sangat lambat, katanya. Menurut pengamatan Hardono selama 6 bulan ukuran tubuh tetap sama seperti saat dibeli, 6-7 cm. Bandingkan dengan red claw yang bisa berukuran 2 kali lipat pada umur sama.

Adaptasi

Sulitnya perawatan lobster papua seperti Cherax monticola, C. lorentzi, C. orange, black tiger, dan blue brick lantaran mereka kurang adaptif dengan lingkungan baru. Tak heran bila peternak lobster di Jakarta, Surabaya, Malang, dan daerah lain, harus mati-matian menjinakkannya agar tidak mati.

Menurut Cuncun Setiawan, pemilik Bintaro Fish Center, Jakarta Selatan, beragam penyebab kematian lobster papua. Pengemasan yang tidak benar hingga perawatan di kolam yang kurang baik. Lobster yang dikirim saat pergantian kulit, kematian bisa mencapai 50% lebih, ujar Cuncun. Itu lantaran perubahan suhu selama dalam perjalanan. Pengemasan yang baik menggunakan sabut kelapa basah atau memakai kotak plastik transparan berisi kertas basah. Agar tetap lembap dan basah, es batu ditaruh di dalam boks styrofoam. Selain itu, lobster sebaiknya dikirim tidak dalam kondisi moulting alias ganti kulit.

Lobster-lobster papua itu sensitif. Perubahan suhu air yang tajam atau berbenturan bisa mngakibatkan stres, ujar FX Santoso, peternak asal Surabaya. Oleh karena itu Santoso-demikian ia disapa- sangat memperhatikan 2 indukan black tiger, 30 blue brick, 100 C. lorentzi, dan 30 C. orange miliknya. Di farmnya di bilangan Rungkut Permai, Surabaya, ia menggunakan air bersih bersuhu rendah, maksimal 24oC. Aerator berarus sedang juga diberikan untuk menyuplai kebutuhan oksigen.

Agar anggota keluarga Crustaceae itu hidup nyaman, Cuncun merancang kolam semen berukuran 2 m x 1 m x 0,3 m. Kolam dibuat rata dengan permukaan tanah agar suhu dalam kolam tetap dingin. Kolam yang mampu menampung 100 lobster berukuran jumbo-rata-rata 15 cm/ekor-itu juga dilengkapi filter dan aerator.

Kolam atau akuarium dibuat agak gelap. Maklum, di habitat aslinya seperti di Timika, Wamena, dan Lembah Baliem, lobster papua banyak berdiam di tepi sungai yang agak gelap. Karena itu penutup dari asbes atau jaring 70-80% bisa diletakkan di atas kolam. Tidak gelap sama sekali tetapi cahaya yang masuk jangan terlalu banyak, kata Cuncun. Batu bata dan pipa PVC tetap disediakan sebagai tempat sembunyi.

Air yang digunakan sebaiknya diendapkan selama 12 jam agar pH stabil. Air itu kemudian dimasukkan ke dalam kolam setinggi 20-30 cm. Selain itu aerator diatur agar tidak menghasilkan arus deras. Tiga hari sekali air dikuras sebanyak 30% dari total volume. Itu dimaksudkan agar lobster tidak kaget dengan kondisi air baru. Kotoran dan sisa pakan harus dibuang. Dengan cara itu, pH air tetap bisa dipertahankan 7,5-8.

Pakan

Untuk pakan, masing-masing peternak memiliki resep. Santoso misalnya, selain pelet, menggunakan cacing tanah, tauge, dan ubi. Pagi hari lobster sarapan dengan pelet dan cacing tanah. Sore hari diberi tauge atau ubi.

Resep Cuncun berbeda lagi. Pria berkulit putih itu rutin memberikan pelet, cacing tanah, dan umbi-umbian sebagai pakan. Biasanya dosis pakan 2-3% dari bobot tubuh diberikan 2 kali. Dua puluh lima persen pada pagi hari dan sisanya pada malam hari. Pertimbangannya lobster lebih aktif malam hari sehingga porsi pakan lebih banyak.

Lobster papua termasuk malas makan. Jadi, perlu diperhatikan dosis pemberian pakan. Bila terdapat banyak endapan di dasar kolam, pakan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit. Setiap hari harus dicek agar kebutuhan pakannya bisa diketahui, ujar Cuncun. Maklum, sisa pakan berlebih menimbulkan endapan sehingga air cepat kotor.

Setelah berumur 4-5 bulan atau berukuran 8-10 cm, lobster papua dikawinkan massal. Untuk luasan kolam 1 m x 2 m, jumlah jantan dan betina 1:3. Artinya, perkawinan 10 jantan dengan 30 betina dalam 1 kolam efektif mendapatkan banyak anakan dalam waktu singkat.

Setelah 2-3 minggu dikawinkan, indukan ukuran jumbo mampu menghasilkan 200-400 telur/induk. Telur dipindahkan ke dalam akuarium yang kondisinya sama dengan kolam. Suhu dipertahankan 24-310C dengan pH 7-8. Bila suhu di bawah 240C telur menetas lebih lama, bisa mencapai 2 bulan. Bila kondisi air stabil, 5 minggu kemudian telur menetas. Pertumbuhan lobster papua memang lambat, tetapi dengan perawatan intensif black tiger, C. lorentzi, dan C. monticola bisa dipijahkan. Intinya harus telaten merawat, kata Cuncun. (Rahmansyah Dermawan)

Tidak ada komentar: